Kerohanian

RUBRIK KEROHANIAN
'SYARI’AT BERKURBAN

KORBAN adalah hewan (berupa unta, sapi atau kambing) yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ayat Al Qur’an di bawah ini menjadi dasar syari’at penyembelihan hewan korban.
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” (Al Kautsar : 1-2).
Ibnu Jarir mengartikan ayat tersebut sebagai berikut : “Jadikanlah shalatmu ikhlas hanya untuk Allah semata dengan sama sekali tidak mengharapkan kepada selain daripada-Nya. Demikian juga korban yang kamu tunaikan, niatkanlah hanya untuk Allah, tidak untuk berhala-berhala, sebagai realisasi syukur atas apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu yang tak terhingga banyaknya.”
Dalam hadist Aisyah ra. disebutkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda :
“Sesungguhnya pahala sedekah itu telah sampai kepada Allah sebelum sampai ke tangan orang yang menerima, dan darah hewan korban telah berada dalam tempat disisi Allah sebelum ia mengalir di tanah. (HR. Ibnu Majah).
Begitulah berkat keutamaannya, Allah segera menetapkan pahala berkorban walaupun pisau baru digesekkan pada leher hewan itu, sebelum darahnya membasahi tanah. Hal itu merupakan balasan atas ketaatan orang yang berkorban dalam memenuhi seruan Allah. Mereka telah mengorbankan hartanya agar terhindari dari cengkeraman sikap bakhil yang pada dasarnya merupakan tabiat asli manusia, seperti difirmankan Allah (lihat surat An Nisa’: 128). Namun melalui ibadah korban, manusia akan hidup lapang dalam kedermawanan. Firman Allah :
“… dan barang siapa dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Hasyr : 9).

Hukum Berkorban
Hukum berkorban adalah sunnah muakkadah dengan dalil hadist dari Ummu Salamah yang menyebutkan bahwa Nabi SAW bersabda :
“Jika kalian telah memasuki hari raya tanggal 10 Dzulhijjah, dan salah satu dari kalian ingin berkorban, hendaknya ia tidak memotong rambut dan kukunya.” (HR. Muslim).
Ungkapan “ingin berkorban” dalam hadist di atas menunjukkan kebijaksanaan dan pengampunan Allah terhadap orang yang belum mampu menunaikan korban. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana hukumnya jika berkorban tidak diniatkan sebelum datangnya Id atau niat itu baru muncul—sebab Allah baru mendatangkan rezeki—pada hari pertama atau kedua Id? Dalam hal ini anda tidak ada masalah untuk menunaikan korban. Artinya hukum korban menjadi mustahab (lebih disukai).
Sebagian ulama madzab Hanafi berpendapat bahwa berkorban hukumnya wajib bagi orang yang memiliki nisab zakat. Acuan mereka adalah hadist shahih yang berbunyi :
“Barangsiapa berkelebihan (dalam harta) tetapi tidak menyembelih hewan korban, janganlah dia mendekati masjidku.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Jumhur ulama menilai bahwa hadist tersebut mauquf dan tidak sampai kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa syari’at berkorban itu hukumnya sunnah ain untuk setiap individu muslim dan sunnah kifayah untuk setiap keluarga muslim.

Pembagian Daging Korban
Setelah disembelih, daging korban dibagikan kepada fakir miskin hingga berada di luar desanya jika memang membutuhkan. Yang berkorban boleh menyimpan sepertiga daging itu untuk persiapan beberapa hari sesudah Id. Jika tidak, daging itu bisa ditambahkan ke dalam bagian fakir miskin atau dihadiahkan kepada famili. Sepertiga yang lain untuk diri sendiri dan keluarga, tetangga, atau teman karib. Dengan demikian semua merasakan berkah dari sebuah ketaatan dan sunnah sekaligusu mempererat jalinan ukhuwah islamiyah. Dalam hadist disebutkan :
“Makanlah dari daging korban itu dan berikanlah kepada fakir miskin serta simpanlah. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Kisah dari Abu Ayyub barangkali dapat dijadikan gambaran tentang pembagian daging korban ini. Menurutnya pada zaman Rasulullah SAW. terdapat seorang laki-laki yang menyembelih korban untuk dirinya dan keluarganya. Dia memakan dan membagian daging korban itu kepada fakir miskin sehingga yang lain pun berlomba-lomba melakukan korban. Mereka beruswah kepada Rasulullah SAW. yang memberi makan keluarganya dari hewan korban yang disembelihnya.
Berangkat dari hikmah merasakan daging korban dan amalan Rasulullah SAW. dalam kisah diatas, sebagian ulama berpendapat bahwa memakan daging korban hukumnya wajib. Artinya daging korban tidak boleh diberikan seluruhnya kepada fakir miskin. Ibnu Abbas meriwayatkan, Rasulullah SAW mengambil sepertiga dari daging korban untuk keluarganya. Kemudian beliau memberikan sepertiga lagi kepada fakir miskin, dan sepertiga yang lainnya kepada orang yang membutuhkan.
Pendapat yang tergolong kuat mengatakan, pembagian daging korban seperti yang dilakukan Rasulullah SAW tersebut tidak wajib, namun hal itu baik dilakukan demi keutamaan sunnah Rasul. Bahkan Ibnu Taimiyah dalam Fatawa Kubra menyatakan bahwa memakan daging korban sendiri lebih baik dari bershadaqah.
Orang yang berkorban tidak boleh mengambil sebagian dar korbannya untuk dijual maupun dijadikan “upah” jagal. Bila jagal ingin ikut menikmati daging korban maka kita dapat memberinya melalui undangan makan yang sajiannya daging korban, agar dia dan keluarganya turut gembira. Hikmah yang dapat diambil dari ketentuan itu adalah kebersamaan dan tolong menolong dalam kebaikan yang dilakukan karena Allah semata. Dalam syariat dikatakan bahwa jagal tidak berhak memperoleh bagian dari daging korban, termasuk “kulitnya” walaupun dikatakan sebagai upah. Berkata Ali ra. :
“Rasulullah menyuruhku untuk menangani unta korban dan membagikan kulit dan penutup tubuhnya serta melarangku memberi jagal sesuatu daripadanya. Beliau berkata, “Kita memberi dia upah dari kita sendiri.” HR Muttafaq alaih).
Wallahu a’lam.

Dikutip dari :
Bulletin Dakwah ITTIBA’

0 komentar:

Posting Komentar

MAJALAH AkSI © 2008 Template by:
SkinCorner