Cerpen

CATATAN CINTA MASA SMA

Pagi yang kunantikan sejak sebelum tidur telah tiba! Matahari yang terbit setiap hari, pagi ini lebih kucintai. Tebaran cerah dan kehangatannya, kurasakan lembut sekali. Udara pagi yang belum terpolusi pun terasa segar melewati hidung. Diiringi kicau burung yang bersahutan di ruang imaji, aku melangkahkan kaki menuju sekolah dengan semangat. Sebabnya, tadi malam aku berhasil menyelesaikan sampai tuntas PR fisika yang super njelimet dari Mr XYZ!
Setengah jam kemudian terlihat bangunan megah menjulang, ialah gedung sekolahku. Yap! Semangat jalanku makin menggebu! Beberaoa menit lagi, aku akan tiba di kelasku tercinta.
Sampailha aku dikelas. Lho, bangku favoritku ternyata sudah diduduki Alicia.
“Lilo, pindah dong! Ini kan kursi keramatku. Aduh, tasku berat, nih! Ayo, cepat!” kataku memelas pada Alicia yang lebih suka dipanggil Lilo itu.
“Wauw, rupanya tuan putri sudah datang,” sahutnya sok terkejut, “mau duduk di sini? Boleh … bisaa … bisaa. Tapi syaratnya, kemarikan dulu PR fisikanya! Kamu pasti sudah mengerjakan, bukan?” sahut Alicia yang terkenal tomboy sok yakin dengan suara bariton-nya.
“Iya Nin, kamu kan biasanya paling rajin,” dukung teman-teman lain yang tanpa kusadari sudah berkerumunan di dekat bangku favoritku. Huuh … agak kesal juga aku sebenarnya. Aku yang capek-capek ngerjain PR sampai begadang semalaman, enak ajak mereka mau nyontek. Tapi bagaimana lagi, mereka benar-benar kompak, sih. Yah, kekompakan yang pantas diancungi … tinju.
Tak lama setelah si tomboy pindah kursi dan aku berhasil memakirkan ranselku di laci, kulihat Rey masuk ke kelas. Dengan langkah semangat, kuhampiri dia.
“Selamat pagi hasil cloning Einstein. Apa kabar PR fisikanya? Bisa ngerjain, nggak? Eeh … aku salah nanya deh. Kamu pasti bisa, kan? Aku sebenarnya juga udah selesai, sih. Tapi yang nomer dua kurang yakin soalnya aku nggak paham banget ama caranya. Terangin, ya!” pintaku pada Rey bertubi-tubi.
Rey menanggapi ocehanku pagi itu dengan senyum khasnya. Selanjutnya bla … bla … bla. Diterangkannya rumus Newton dan cara menerapkannya pada soal dengan sabar padaku. Dan lagi-lagi aku dibuatnya terangguk-angguk seperti tangkai bunga yang tertiup angin. Terkagum-kagum habis dengan kecerdasannya. Bagiku, Rey lebih dari seorang mahaguru atau profesor sekali pun. Aku akrab dengan Reynaldi atau Rey memang lantaran maniakku pada pelajaran-pelajaran exacta. Rey kan masternya.
Pada sebuah waktu yang bernama hari Rabu. Luqman, sahabat Rey, tidak masuk sekolah. Rey yang biasa ke mana-mana bareng dia jadi sendirian. Tidak tahunya, Erika yang biasa bareng aku-sudah duluan pulang juga. Akhirnya Rey ngajak aku barengan pulang. AKu sih, oke-oke aja. Seneng banget kan, diajak pulang bareng professor. Siapa tahu di sepanjang jalan dikasih bocoran tips-tips jadi orang jenius kayak dia. He he he.
Eeh, tak tahunya … ketika sudah agak jauh dari kelas, tiba-tiba teman sekelasku kompak neriakin aku ama Rey. Yang paling keras dan bikin jengkel … teriakan en ledekan siapa lagi kalo bukan dari Alicia, si tomboy itu.
Di bawah komando Lilo mereka teriak, “Mesra nih, yee!”
Waduh, aku malu sekali. Segera saja aku minta ijin Rey untuk jalan duluan. Keburu malu berat.
Sejak peristiwa Rabu itu, beredarlah gossip murahan. Tidak tahu siapa yang tega-teganya menyebarkan kabar bohong itu. Isi gossip: aku ada ‘affair’ ama Rey. Gila! Tapi berhubung aku ngerasa nggak ada apa-apa, ya tak cuekin aja. Untunglah Rey mau kompak untuk cuek ama gosip jelek itu. Kalau tidak, waah … tak bisa kubayangkan bagaimana diriku harus bersikap dan bertindak.
Hari demi hari terus berlalu. Tak terasa sudah cawu tiga. Rupanya, lambat laun teman sekelasku bosan juga nggosipin aku ama Rey. Padahal sesungguhnya kami malah tambah akrab. Apalagi aku terpilih menjadi duta sekolah dalam olympiade matematika bersama Rey. Untuk itulah, kami sering belajar bersama di luar jam pelajaran.
Tanpa kuperkirakan sebelumnya, kebersamaanku dengan Rey telah menimbulkan perasaan lain dalam hatiku. Perasaan ingin dekat dan ingin diperhatikan yang lebih. Namun, aku masih mampu menepiskannya dan menetralisir perasaanku sendiri. Aku menganggap bahwa perasaan-perasaan anehku yang muncul hanyalah merupakan refleksi kekagumanku padanya. Cuma pantulan kegilaanku pada ilmu-ilmu eksak dan ketakjubanku pada kecerdasannya. Bagaimana tidak takjub? Rey memiliki sederet prestasi yang luar biasa. Meskipun masih kelas satu, dia sudah diikutsertakan dalam berbagai olympiade bidang exacta, seperti fiska dan kimia. Apalagi Rey selalu mendapat nilai sepuluh dalam ulangan matematika, pelajaran favoritku. Dia juga tidak pernah mendapat nilai dibawah delapan untuk fisika, pelajaran mengerikan dari guru super-killer seperti mister XYZ itu.
Tapi … entah kenapa … Erika, temanku sebangku, malah menangkap sesuatu yang lain. Terbukti dari ucapannya beberapa waktu yang lalu.
“Nin, sebelumnya aku minta maaf kalau aku kau anggap terlalu turut campur mengenai pribadimu. Sebenarnya … sejak kau digosipkan dengan Rey, aku sudah agak was-was. Soalnya, mana mungkin ada berita tanpa dukungan fakta sedikit pun.”
Aku menautkan kedua alis dan mengerutkan kening mendengar ucapan pembukanya itu. “Jadi, kau juga menuduhku? Sejak kapan kamu mudah terpengaruh gossip?”
“Sekali lagi, maaf … aku tidak bermaksud menuduh kamu berbuat yang tidak-tidak. Tetapi, kulihat semakin lama kau semakin akrab ama Rey. Menurutku, kalian terlalu dekat. Cobalah kau pikirkan apa yang kukatakan ini.” tambah aktivis Rohis itu seperti merasa bersalah.
“Makasih deh Rik atas perhatianmu. Tapi, percaya deh ama aku. Biar pun badung, aku tahu kok kalo pacaran itu dosa,” ucapku ringan.
Erika tersenyum. Aku pun membalas senyumnya.
Selebihnya, nasihat Erika hanya kuanggap angin lalu. Rey baik, hubunganku dengannya pun baik-baik saja. Kekhawatiran Erika berlebihan.
Memang sih, ada satu hal yang tak kukatakan pada Erika. Bahwa kebersamannku dengan Rey membuatku bisa merasakan suatu kebahagiaan lagi. Kebahagiaan yang kurasakan pernah terenggut paksa dari diriku sepeninggal papa empat tahun lalu. Mas Dody, saudara kandungku satu-satunya lebih suka aktif di kampusnya daripada memperhatikan atau membantuku belajar. Katanya, ngobrol ama aku nggak ada asyiknya. Nggak nyambung! Mama pun sibuk bekerja. Setiap pulang ke rumah, pasti sudah mengeluh capek. Kebutuhan yang semakin meningkat menjadikan beliau semakin sering pergi. Akhirnya, mama jarang punya waktu berbicara santai denganku.
Bagiku … Rey adalah penghibur, sumber motivasi, semangat hidup … juga profesorku! Profesor cerdas yang penuh perhatian, yang membuat prestasi belajarku melambung cepat!
Hari-hari penuh bunga di kelas satu telah berlalu.
Setelah liburan panjang selama sebulan yang sangat membosankan, akhirnya aku duduk di bangku kelas dua. Kulihat ada wajah baru yang sedang tersenyum manis. Pak Ismail, wali kelasku yang baru, memperkenalkan gadis berjilbab yang cantik itu kepada penghuni kelas dua. Namanya Sinta, pindahan dari Bandung. Karena di kelas hanya aku dan Erika yang memakai jilbab … maka otomatis dengan kamilah Sinta pertama kali akrab.
Sinta anak yang sangat lincah dan ramah. Dia mudah beradaptasi dengan lingkungan baru di sekelilingnya. Dia juga tidak sombong meski kedua orang tuanya pejabat tinggi. Tak cuma ramah, lincah dan tidak sombong, dia juga cukup pandai. Dan … pelan namun pasti … meski tampaknya tenang-tenang saja, sebenarnya aku sudah mulai was-was. Aku mulai mencium aroma persaingan yang ketat.
Puncaknya adalah ketika penerimaan rapor cawu 1. Secara mengejutkan, Sinta meraih peringkat kedua di bawah Rey. Peringkat yang biasanya hanya menjadi milikku. Bagaimanapun juga, aku merasa sangat terpukul dengan kenyataan itu.
Lalu, entah bagaimana awalnya … Sinta akrab dengan Rey. Suatu kenyataan yang sudah kuduga akan terjadi, apalagi setelah Sinta dengan suksesnya menyabet peringkat keduaku.
Aku jadi merasa tersisih. Aku merasa telah kalah. Pecundang! Aku merasa … tak pantas lagi jadi temen dekat Rey. Perlahan namun pasti, aku mulai menjauhinya. Kuhindari semua aktifitas yang melibatkan Rey, termasuk di dalamnya … ekskul komputer yang kusukai.
Cawu dua, peringkatku tak membaik, jumlah nilaiku juga. Aku masih bisa bersandiwara di hadapan teman sekelas, seolah tak terjadi apa-apa. Aku juga tetap bersikap baik sama Sinta.
Di akhir cawu tiga, aku makain kacau saja. Nilai-nilai ulangan harianku jeblok, turun drastis. Keceriaan yang dulunya selalu mewarnai hari-hariku pun turut memudar. Sandiwara tak bisa kumainkan lebih lama. Terbukti, Erika mulai mencium ketidakberesan itu dan bertanya.
Aku terus menutupi, dan selalu mengelak. Ketika dia bertanya ‘mengapa’ atau ‘ada apa’, selalu kujawab bahwa aku tidak apa-apa, cuma lagi nggak mood. Padahal sebenarnya … hatiku sedang remuk-redam.
Semakin hari kesedihanku semakin tak terbendung. Betapa sesak dadaku setiap saat menahan luapan berbagai rasa. Menyaksikan Rey, orang yang kusayangi setulus hati, yang kujadikan tumpuan harapan selama ini, tak lagi memberi perhatian penuh padaku. Kadang-kadang, kulihat Rey ingin mengakrabiku.Dekat seperti dulu. Tapi … kehadiran Sinta di sisinya membuatku begitu gerah. Aku … jadi benci sama Rey.
Sejak kehadiran Sinta menyita perhatian Rey … aku telah belajar menjadi aktris profesional. Berakting setiap saat.Berpura-pura ceria dan bahagia, dan tak terjadi apa-apa. Tak mungkin aku curhat pada Erika atau teman-teman Rohis yang lain. Nanti aku didakwa jatuh cinta. Nanti aku pasti kena marah. Apalagi, kayaknya aku memang salah. Ya sudah, aku pura-pura saja. Aku tak ingin teman-teman tahu kalau aku sedang down.
Buntutnya … aku malah jadi stress. Kemunculan gosip bahwa Rey dan Sinta telah menjadi sepasang kekasih makin membuat telingaku panas. Aku benar-benar terpukul. Frustasi!
Suatu malam, aku begitu resah, sehingga berkali-kali terbangun. Tidurku sama sekali tidak nyenyak meski tak ada nyamuk. Aku ingat wajah Rey, ingat papa, ingat Sinta, Erika … lalu mama, Mas Dody. Aku benar-benar gelisah. Seluruh tubuhku telah berkeringat.
Lalu … entahlah, saat itu ada dorongan kuat dari dalam hatiku untuk mendirikan salat malam. Salat malam yang … entah sudah berapa lama tak kulakukan.
Sisa air wudu di wajahku telah bercampur tetes keringat dan air mata. Aku menangis sejadi-jadinya malam itu. Aku ingat Rey, seseorang yang kuanggap menjadi sumber kesedihanku. Dalam gelapnya malam yang sepi sunyi, berkelebatan di benakku … apa saja yang telah kulakukan bersamanya, semasa kami masih akrab.
Belajar bersama, berdiskusi, bergantian mengoreksi, saling memberi soal, ke perpustakaan, tertawa bersama …
Kuingat juga nasihat-nasihat Erika. Kuingat sikapku yang selalu mengacuhkan nasihat itu. Dan bahkan, aku pernah menganggap Erika hanya iri akan kedekatanku dengan Rey. Rey yang selalu mengingatkanku pada sosok yang cerdas, lembut dan penuh kasih sayang.
“Ya Allah, Nindya minya ampun… Nindya salah. Nindya juga jahat sama Erika.”
Malam itu, kurasakan tak ada lagi kasih sayang yang masih bisa kuharapkan selain dari Allah. Rey yang begitu kusayangi pun tanpa dia sengaja telah menorehkan luka yang teramat dalam di hatiku.
Pagi hari datang lagi. Aku pergi ke sekolah dengan langkah yang tak terlalu semangat. Untungnya, mataku yang semalaman menangis sudah tak terlihat sangat sembab.
Kebetulan, hari itu jam pertama kosong. Kabarnya … Pak Ghaffar, guru matematika, sakit mendadak sehingga tidak sempat meninggalkan tugas. Aku mengajak Erika ke musala sekolah. Aku ingin berbagi rasa padanya.
Sehabis salat duha, aku menceritakan apa yang kualami dan kurasakan serta menjadi beban batinku hingga membuat prestasiku amburadul tidak karuan. Kuceritakan dari alif sampai ya’ tanpa kurekayasa.
Tak ada keterkutan di matanya. Dia tetap tenang, kalem … seperti sejak pertama kali aku mengenalnya.
“Aku sudah mengira hal itu sejak dulu, Nin. Hanya, saat itu aku tak mampu berbuat apa pun kecuali selalu berdoa agar kau cepat menyadari kesalahanmu.”
“Tapi … Rey selalu membuatku merasa dekat kembali dengan papa. Kau tahu kan Rik, betapa sayangnya belia padaku,” aku mulai terisak. Wajah lembut papa seketika melintas di kepalaku. Almarhum papa yang selalu kubanggakan dan kuceritakan pada siapa pun, termasuk Erika.
“Yah, aku paham itu. Namun ingatlah Nin, bukan hanya papa yang menyayangimu. Mama, Mas Dody, teman-temanmu … aku!” terdengar nada suara Erika mulai berubah.
Kurangkul Erika. Kumenangis dalam pelukannya. Samar-samar kudengar suaranya lirih, “dan jangan pernah kau lupa, Nin! Kasih sayang Allah melebihi segalanya.” Tampak Erika menahan segenap perasaannya. Mungkin dia teringat mamanya yang telah meninggal dunia saat melahirkan Eric, adiknya.
“Nin, sebentar lagi jam kedua tiba. Sebaiknya kita segera merapikan diri.”
Kulepaskan pelukanku dari Erika. Kususut sisa air mataku dengan tisu lalu mencoba tersenyum. Kami pun kembali ke kelas. Saat itu, kurasakan hatiku mulai lega luar biasa.
Roda sang waktu terus bergulir, menggelinding. Hari demi hari aku semakin dekat dengan Erika dan tak terlalu tergantung pada Rey lagi.
Sejak Sinta benar-benar ‘jadian’ dengan Rey, dia semakin jauh dariku. Begitu pula Rey. Biarlah! Aku toh sudah berjanji pada diriku sendiri untuk berusaha mengikhlaskan semuanya. Mengikhlaskan Rey pergi dari kehidupanku, dari hatiku.
“Ya Allah, Nindya memang kembali pada-Mu karena patah hati. Namun, jadikanlah itu abadi.”
Nindya menutup lembar catatan cinta SMA-nya sembari tersenyum. Kisah yang dianggapnya lucu, delapan tahun lalu.
Rey … entah di mana dia kini.

0 komentar:

Posting Komentar

MAJALAH AkSI © 2008 Template by:
SkinCorner